Selasa, 08 Juli 2014

Mengapa Golput adalah pilihan terbaik untuk Saya dan (mungkin) Kamu?



Bismillahirrohmaanirrohiim. Blog baru lahir nih, baru kepikiran bikin blog pribadi soalnya hehe. Artikel saya ini terinspirasi dari seseorang yang cukup terkenal di dunia sosial, namanya Kei Savourie, jadi mungkin kalian akan mendapat banyak kesamaan pendapat antara saya dengan beliau.

9 Juli 2014 Pemilihan Presiden akan diadakan, di mana semua orang sedang beramai-ramai menyuarakan posisinya. Yang pro Jokowi, yang pro Prabowo, semua bersemangat memberikan argumen kenapa pilihannya yang paling benar. Sebegitu ramainya sampai terasa menjengkelkan. Saya dulu cukup sering menyuarakan posisi saya sebagai golput militan lewat twitter, tapi kali ini saya terdorong untuk menuliskan isi kepala saya dengan lebih panjang dan menawarkan sebuah perspektif lain di masa kegilaan politik ini.

Jujur, tahun ini sebenarnya adalah tahun pertama dimana saya akhirnya bisa ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan justru karena itulah mengapa saya lebih baik tidak ikut berpartisipasi dulu. Anda mau protes? Baca artikel ini sampai habis, lalu silahkan protes di tab komentar. Itupun jika anda masih tetap ingin protes..

Banyak orang mencemooh ketika saya menyuarakan posisi saya sebagai golput, mereka mengatakan bahwa saya tidak cinta negara, bukan warga negara yang baik, tidak berhak protes pada pemerintah, tidak berhak menikmati fasilitas negara, dan segala macam argumen basi lainnya yang gampang sekali dipatahkan. Saya tidak masalah, selama tidak nimpuk pakai batu atau ngebakar rumah, silakan saja berkata apapun tentang saya, itu namanya kebebasan berpendapat. Tapi paling tidak yang bisa kamu lakukan sebelum mencela saya adalah membaca dulu beberapa alasan mengapa menurut saya golput adalah pilihan terbaik, bukan hanya bagi saya, tapi juga (mungkin) bagi kamu.

DEMOKRASI DI INDONESIA ADALAH ILUSI

Agar sebuah demokrasi bisa berjalan dengan baik demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, maka orang-orang yang ikut pemilu harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai agar mereka bisa memahami kondisi negara dan mempertimbangkan dengan baik siapa pemimpin yang akan mereka pilih. Saya rasa kamu juga setuju, ya kan? Jangan cuma asal milih, tapi jadilah pemilih cerdas, begitu kan kata slogannya? Pemilih yang cerdas akan membuat bangsa ini jadi maju, tapi pemilih yang bodoh akan membuat bangsa ini jadi bobrok.

Saya sangat setuju, justru di situlah letak permasalahan pemilu di negara kita ini: sebagian besar pemilih tidak memiki kapasitas dan pengetahuan yang cukup untuk memilih dengan baik dan penuh pertimbangan. Orang-orang yang ikut pemilu sebagian besar adalah orang-orang yang tidak mengerti apapun tentang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum atau tentang hak asasi manusia. Berapa banyak diantara pemilih yang sungguh-sungguh mencari tahu tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia? Berapa banyak pemilih yang tahu bahwa hampir 50 persen rakyat hidup dibawah US$2 per hari, bahwa 30 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, bahwa hampir setengah penduduk kesulitan dan tidak mempunyai akses air bersih, bahwa setiap 4 menit ada anak kecil yang mati karena sakit, bahwa 8 juta anak kekurangan gizi, bahwa siswa Indonesia dapat peringkat kedua paling bawah tes PISA, bahwa hanya 7 persen penduduk sampai bangku kuliah, bahwa 30 persen wilayah Indonesia belum dialiri listrik, bahwa kasus pelanggaran HAM dan penindasan minoritas semakin tinggi? Berapa banyak orang yang mengerti dan peduli tentang berbagai masalah kompleks yang dihadapi negara ini? Apakah kamu tahu tentang hal-hal tersebut? Apakah kamu tahu apa rencana konkrit capres pilihanmu untuk mengatasi masalah-masalah di atas?

Di negara miskin yang hanya sekitar 30 persen penduduknya lulus SMA, yang bahkan tidak tahu apa itu artinya demokrasi, mengharapkan penerapan demokrasi yang baik, di mana setiap pemilih memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai untuk dipertimbangkan sebagai dasar atas keputusannya memilih, adalah sebuah ilusi.

Kamu tidak akan meminta orang yang tidak mengerti apapun tentang ilmu kedokteran untuk memeriksa penyakit kamu, kan? Kamu menginginkan seorang dokter yang profesional, mengerti tentang ilmu medis dan berpengalaman, untuk memeriksa tubuh kamu. Tapi kalau soal politik, kenapa semua orang disuruh nyoblos meskipun tidak mengerti sama sekali tentang politik dan masalah kenegaraan?

Sadarilah satu hal ini: TIDAK SEMUA ORANG PUNYA KAPASITAS SEBAGAI PEMILIH. Memaksa setiap warga untuk ikut serta dalam pemilu padahal mereka tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik, adalah hal yang sangat berbahaya. Akibatnya mereka memilih bukan karena pertimbangan matang yang rasional berdasarkan data dan fakta, tapi berdasarkan hal-hal bodoh, seperti agama sang capres, foto ciuman dengan kuda, anak sang capres yang gay,  blusukannya sang capres macul lumpur di waduk, atau cuma karena gak suka sama capres yang satu makanya pilih capres lawannya, dan segala macam isu yang sama sekali tidak menyentuh masalah-masalah krusial di atas.

Kalau pemilihnya model begitu, ya wajar kalau suara pemilih jadi gampang disetir dengan gossip dan gambar meme, bisa dibeli seharga Rp. 50.000, atau disogok dengan sebungkus nasi padang serta promosi marketing lainnya.

Jason Brennan, seorang filsuf dari Georgetown University, dalam bukunya The Ethics of Voting, mengatakan bahwa mendorong orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memilih, bukan cuma hal yang sia-sia, tapi juga salah secara moral. Memilih bukanlah sebuah kewajiban, tapi bagi banyak orang mungkin sebaiknya punya kewajiban untuk tidak memilih.

Pertanyaan berikutnya adalah: pemerintah tahu bahwa sebagian besar rakyatnya tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik dan cerdas (baca: bego), lalu mengapa semua orang disuruh nyoblos, bahkan yang golput sampai dijadikan sebuah stigma sosial? Seolah-olah pemerintah negara ini memang senang dipilih oleh rakyat yang bego, seolah-olah sistem pemilu ini memang dibuat untuk orang bego yang gampang disetir. Saya tidak ingin terdengar seperti penggemar teori konspirasi, tapi harusnya kejanggalan ini mengusik siapapun yang bisa berpikir kritis.

“Kamu gak ngerti apa-apa soal politik, gak usah sok tau, kamu masih anak baru gede!” Ini kalimat yang sering sekali ditujukan pada saya, dan ya, saya mengakuinya. Saya bukan dosen ilmu politik, bukan juga buzzer capres yang dibayar mahal. Saya tidak mengerti ribetnya politik, tidak mengerti cara mengatur ekonomi negara, tidak mengerti bagaimana mencapai kesejahteraan sosial. Saya hanya belajar lewat Google, membaca berita, artikel Wikpedia, ngobrol di depan warung, dan cuilan-cuilan informasi dari sana dan sini.

Saya mengakui kalau saya tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik, karena itu saya memutuskan untuk tidak memilih. Saya tidak punya waktu untuk nonton 5 episode debat capres, tidak punya motivasi untuk mempelajari segala aspek politik dan kenegaraan, makanya saya tidak ikut berpatisipasi dalam pesta demokrasi ini.

“Saya memilih karena saya punya harapan untuk Indonesia.” Saya juga berfikiran demikian, saya tidak memilih karena saya punya harapan untuk Indonesia. Agar suara orang yang cerdas bisa didengar, agar mereka yang betul betul memahami permasalahan dan solusi terbaik indonesia bisa diperhitungkan suaranya. Jika saya berpartisipasi, sama halnya saya membuka peluang tenggelamnya suara suara orang yang lebih berhak. Analoginya, satu suara seorang ustad kalah banyak dengan 2 suara seorang rakyat biasa. Padahal saya dan kamu pasti setuju kalau suara seorang ustad itu pasti lebih berbobot dibanding mereka yang bukan cendekiawan.

Kalau melihat seorang wanita yang tetap tinggal bersama dengan seorang pria yang selalu menyakitinya, menganiaya dirinya secara fisik dan mental, selingkuh berulang kali selama bertahun-tahun, tapi tetap berharap bahwa suatu saat sang pria akan berubah, tentu kamu akan menyarankan dia untuk berhenti berharap dan meninggalkan sang pria. Kamu bisa melihat betapa sang wanita tenggelam dalam delusinya sendiri karena sudah sekian lama terkungkung dalam penderitaan sehingga tidak bisa melihat fakta yang begitu jelas di mata orang lain: pria itu tidak akan berubah, dia tidak layak untukmu, pergi tinggalkan dia dan cari kebahagiaanmu sendiri!

Tapi kalo soal politik kok tiba-tiba kamu jadi sama dengan wanita tersebut? Setelah puluhan tahun dan berkali-kali pemilu kamu terus dibohongi, dieksploitasi, ditelantarkan, dikhianati, diperkosa oleh penguasa, tapi masih saja tetap berharap suatu saat keadaan akan berubah? Melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah sebuah kegilaan. Posisi kamu seperti kasus wanita diatas, dan posisi saya adalah orang luar yang kasihan melihat kamu ngarep.

Saya tekankan,  Melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah sebuah kegilaan!.

Mungkin saya salah terlalu sinis terhadap pemerintah, mungkin setelah pemilu kali ini keadaan akan membaik, hukum akan ditegakkan, korupsi diberantas, pendidikan diperbaiki, kesehatan diperhatikan, dan kesejahteraan akan makin merata.  Kalau memang saya terbukti salah, justru itu yang saya inginkan. Tolong buktikan kalau saya salah! Kalau saya boleh berharap, harapan saya adalah agar saya salah.  There’s nothing I want more than to be proven wrong. Tapi sampai hari itu terjadi, rasanya saya akan tetap pada pendirian saya.

“Jangan golput, karena suaramu berarti.” Ini juga argumen klasik yang selalu dikumandangkan oleh agen-agen propaganda demokrasi, entah dibayar berapa mereka ini. Bukan saja argumen ini lemah, tapi juga salah secara matematika. Iya, suara kamu berarti dalam pemilihan ketua kelas misalnya, di mana pemilihnya hanya beberapa puluh orang. Tapi dalam pemilu skala nasional, suara kamu tidak lah sebegitu berartinya. Kecuali kamu Ketua NU atau LSM yang bisa membawa ribuan atau jutaan suara pemilih, suara kamu seorang nyaris tidak bernilai.

Dari pileg April 2014 kemarin, tercatat ada 185 juta pemilih yang terdaftar, itu artinya suaramu hanya bernilai 1/185.000.000 saja. Itu bagaikan sebutir gula pasir dalam satu kantung gula seberat satu kilogram. Kalau sebutir hilang juga nggak akan mengubah beratnya. Begitu juga suara kamu, tidak akan menjadi penentu kemenangan siapapun. Jason Brennan juga membahas masalah ini dan memberikan perhitungan matematika dalam bukunya. Menurutnya, jauh lebih tinggi kemungkinan kamu ketabrak mobil dalam perjalanan menuju tempat nyoblos, daripada suaramu menjadi penentu kemenangan capres tertentu.

“Dengan memilih kita sudah ikut memberikan kontribusi pada masa depan negara.” Banyak orang merasa puas ketika nyoblos, merasa bahwa dirinya sudah memberikan sumbangsih pada negara, merasa sudah melakukan tugas sebagai warga negara yang baik. Tapi itu semua hanya masturbasi moral, karena pada kenyataannya nyoblos secarik kertas tidak akan mengubah apapun. Sejak negara ini merdeka hingga hari ini, pemilu hanya menguntungkan kelompok penguasa yang sama, saya menyebutnya Gank L4 (Lu Lagi Lu Lagi). Negara ini adalah oligarki yang berkedok demokrasi.  Pemilu di negara ini adalah sebuah sistem ilusi di mana rakyat seolah punya andil menentukan nasib negara. Gak perlu lah saya jelaskan panjang lebar, karena jelas kamu kan lebih mengerti politik daripada saya.

Sama seperti memberikan uang seribu rupiah pada anak jalanan tidak akan mengubah keadaannya, melainkan hanya membuat kamu puas atas diri kamu sendiri karena telah melakukan sebuah kebaikan. Sama seperti mematikan lampu selama sejam untuk menghemat energi dan melawan global warming tidak akan mengubah apapun, begitu juga dengan pemilu, tidak akan mengubah apapun, tapi, hey, setidaknya nyoblos bisa bikin kamu jadi happy dan merasa menjadi orang baik.
Semua orang berhak untuk merasa puas dengan dirinya sendiri, jadi silakan saja kalau kamu memang ikut pemilu untuk alasan seperti itu. Sama seperti kamu makan permen, manis dan enak di mulut, meski tidak memiliki kandungan gizi apapun dan tidak membuat perut kenyang. Sama seperti masturbasi, orgasme dan nikmat sih, tapi hanya nonton film porno dan elus-elus pakai tangan sendiri. Ya tidak apa-apa kalau kamu suka, masturbasi itu sehat dan menyenangkan kok. Silakan masturbasi sepuasnya.

Tapi kalo kamu gak mau masturbasi dan ingin merasakan kepuasan yang lebih nyata, mungkin kamu bisa melakukan beberapa hal ini: pada tanggal 9 Juli 2014 nanti, daripada nyoblos, lebih baik pakai waktumu untuk traktir orang tua kamu makan enak, kalau kamu tinggal berjauhan dengan orang tua, kamu bisa telpon mereka dan katakan bahwa kamu sayang mereka. Setelah itu kamu bisa sisihkan sebagian gaji kamu yang masih hangat itu untuk didonasikan pada yayasan yang mengurus anak-anak terlantar, lalu sore atau malam harinya kamu bisa ngumpul nongkrong bareng pacar atau sahabat-sahabat kamu dan menikmati hidup tanpa memusingkan orang-orang haus kekuasaan yang tidak pernah memikirkanmu. Itu sih yang akan saya lakukan nanti. Apakah kamu mau ikutan?

Referensi: http://www.hitmansystem.com/blog/